gaib, manusia perkasa di hutan rimba. Mereka
bisa menghilangkan diri hanya dengan berlindung
di balik sehelai daun. Jejaknya sulit diikuti. Mereka
berjalan miring dan sangat cepat. Tubuh mereka
ringan karena tidak makan garam.
Matahari baru saja terbenam. Remang petang
mulai menjamah Desa Tumbang Karamu. Di sana
sini tampak tiang-tiang Toras sisa upacara
Mandung dan DaLo menjulang gagah menantang
langit.
Di hulu Barito ada tiga desa yang dianggap
sebagai perkampungan orang Dayak Punan, yaitu
Tumbang Karamu, Tumbang Tunjang, dan
Tumbang Topus. Penduduk ketiga desa ini
menyatakan, mereka adalah keturunan orang
Punan.
Namun, jika kita bertanya pada mereka tentang
Ot Siau atau Punan Berkaki Merah, mereka sendiri
mengatakan tidak pernah melihat maupun
bertemu. Namun mereka yakin Punan Berkaki
Merah memang ada, dengan ciri unik, yaitu
tangan dan kaki berwarna merah seperti kaki
burung Siau.
Penduduk tiga desa itu membuat dua kategori
Punan. Pertama, ”Punan Pemerintah”, yaitu
orang-orang Punan yang bersedia tinggal-
menetap di kampung. Kedua, Punan Siau yang
tinggal di goa dan mengembara di rimba
belantara. Orang-orang Karamu, Tunjang, dan
Topus mengaku diri sebagai ”Punan Menetap”,
serta bersaudara dengan Punan Siau yang
dipercayai tinggal di hulu Sungai Borak.
Saudara dan leluhur
Siapakah orang Punan menurut orang Karamu,
Tunjang, dan Topus? mereka pasti bilang orang
Punan adalah leluhur mereka. Ketika dilakukan
pemetaan partisipatif di Desa Tumbang Topus,
didapat informasi bahwa dari 45 kepala keluarga,
hanya lima kepala keluarga yang tidak ada
hubungan genealogis dengan Punan. Mereka
adalah murni orang Siang-Murung atau Ot
Danum.
Punan yang ”asli”, menurut orang-orang ini,
adalah mereka yang tinggal di rimba belantara
dan dalam goa-goa yang gelap. Kaki dan tangan
mereka diwarnai merah dengan daun saronang
atau jarenang. Seluruh tubuh mereka dilapis
dengan sejenis jamur yang mengandung fosfor
sehingga tampak menyala di kegelapan.
Dalam hal berburu, orang Punan Siau pantang
membunuh binatang yang lengah. Jika bertemu
dengan rusa yang sibuk memakan dedaunan, ia
bertepuk tangan keras-keras untuk
memberitahukan kehadirannya.
Ketika rusa itu terkejut dan lari, barulah ia
memburunya. Mereka itulah pemburu sejati
bersenjatakan sumpit, serta pantang
menaklukan buruan dengan cara pengecut, yaitu
mengintai diam-diam.
Sekalipun bisa bertutur banyak, tidak ada
seorang pun dari penduduk tiga kampung itu
pernah bertemu langsung dengan Punan Siau.
Sabran dan beberapa orangtua lainnya hanya
mengatakan pernah melihat jejak kaki, tetapi tidak
pernah melihat orangnya. Menurut mereka, hal itu
terjadi karena orang Punan Siau memiliki kata
lamunan, yaitu mantra sakti untuk menghilangkan
diri di balik sehelai daun.
Punan adalah kumpulan cerita menakjubkan.
Dalam khazanah lokal Kalimantan, Punan selalu
digambarkan sebagai manusia perkasa dan ahli
berburu. Mereka dilihat sebagai orang yang
berkekuatan supranatural tinggi. Mereka dapat
menghilang dan mempunyai penciuman yang
tajam. Alkisah, seekor kera akan jatuh dari pohon
kalau memandang sinar mata orang Punan.
Mereka juga dilihat sebagai manusia istimewa
penghuni hutan. Orang Punan juga memiliki
pengetahuan akan obat-obat manjur, dari akar
dan daun-daun kayu hutan. Konon, jika para
perempuan Punan melahirkan, mereka akan
sembuh dalam satu hari.
Kuburan Punan
Di Desa Tumbang Topus sudah tidak ada lagi yang
murni Punan. Yang ada hanyalah campuran
antara Punan dan orang Siang-Murung, Bahau,
Benuaq, dan Ot Danum atau Kahayan. Toras,
Potogor, dan Batang Pantar yang jumlahnya ada
beberapa di kampung itu, menunjukkan dalam
ritual kematian mereka cenderung sebagai
orang Ot Danum atau Siang Murung.
Bagaimanakah mereka bisa mengidentifikasi diri
sebagai keturunan Punan?
Jawaban atas pertanyaan di atas terdapat pada
seonggok batu besar yang oleh orang setempat
disebut dengan Batu Awu-BaLang. Melintasi
Sungai Ponut, di antara rerimbunan pohon,
terdapat bukit-bukit batu yang tersebar di sana-
sini. Pada ceruk dinding salah satu bukit batu itu
tampak tergolek dua tengkorak dan tulang-
belulang manusia.
Menurut mereka, tengkorak dan tulang-belulang
itu adalah milik dua tokoh Punan yang bernama
Awu dan BaLang. Menjelang wafat, mereka
mengamanatkan agar tulang-belulangnya jangan
dikubur dalam tanah, tetapi diletakkan di ceruk
batu, seperti layaknya orang Punan yang orang
gunung atau bukit yang berdiam di goa batu.
Bagi orang Tumbang Topus, Batu Awu-BaLang
bukanlah sekadar kuburan, tetapi merupakan
monumen asal-usul diri karena di sana terdapat
petunjuk bahwa leluhur mereka memanglah
orang Punan.
Identitas Punan
Masyarakat Dayak di kaki Pegunungan Muller
secara terbuka mengidentifikasi diri sebagai
”Punan Pemerintah” dan ”Punan Menetap”.
Pengakuan ini hendak menegaskan mereka
adalah ”orang kampung” yang berbeda dari
Punan liar yang hidup di hutan, bebas-lepas dari
kontrol pemerintah.
Namun, identitas diri sebagai Punan, bekas
Punan, atau keturunan Punan pun diracik
sedemikian rupa sehingga menjadi wacana jalur
leluhur yang memungkinkan mereka untuk
mengklaim gunung, sungai, dan hutan sebagai
tempat hidup. Memang tanpa ada kaitan dengan
masa lampau dan leluhur, mereka bukanlah apa-
apa.
Pengetahuan tentang Punan bukan hanya
monopoli pakar antropologi. Orang Dayak sendiri
sangat aktif dalam membangun identitas dirinya.
Sebagai internal agen, mereka aktif
mengonstruksi diri. Di Tumbang Karamu,
Tumbang Tujang, dan Tumbang Topus, dengan
tegas mereka mengatakan, ”Kami bukan Punan
Habongkot, bukan Punan Kareho, dan juga bukan
Punan Siau. Kami adalah Punan Murung.” Hampir
seabad yang lalu, Carl Lumholtz, seorang
penjelajah asal Norwegia, telah melakukan
ekspedisi Barito-Muller-Mahakam (1915-1916). Di hulu
Sungai Busang ia bertemu dengan Punan
Panyawung.
Namun kini, di awal abad ke-21, jika berkunjung ke
hulu Sungai Murung, yang akan ditemukan
hanyalah Punan baru, yaitu Punan Murung, Punan
yang sudah tak asli lagi. Jadi, Punan itu ada dan
tiada.
Sumber:http://www.blogmisteri.com/misteri-kesaktian-suku-dayak.htmlPublished with Blogger-droid v2.0.4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar